Dunia di Mata Orang Shalih

Pesona dunia sering kali membutakan hati seorang mukmin, terlebih lagi saat dirinya berada di tengah dahsyatnya badai kehidupan. Keindahan dan kemegahan dunia membuat mereka lupa bahwa tujuan hidup yang sejati sesungguhnya hanyalah di akhirat.

Fitnah dunia sanggup menenggalamkan iman dan menjadikan seorang mukmin menjadi kufur. Tak sedikit yang mengubah arah hidupnya meski keislamannya terlihat begitu kokoh. Bahkan, banyak yang rela menjual akhiratnya demi kebahagiaan semu sementara.

Hal ini yang sering kali membuat para salafuna ash-shalih khawatir. Untuk itu, mereka memberi banyak nasihat berharga agar manusia selamat dari tipu daya dunia.

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata,

”Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) hingga datang kepadanya keputusan, ke surgakah ia atau ke neraka.” (Az-Zuhd, hlm. 248 )

Seorang shalih akan menjalani kehidupan dunia dengan hati-hati karena jeratannya yang bisa 1qmenggoncangkan iman. Dengan begitu ia tidak akan terpukau dengan segala kemilau yang membutakan jiwa.

Untuk meraih kemuliaan akhirat, mereka hanya mengambil seperlunya dalam memanfaatkan karunia serta nikmat-Nya. Dunia hanyalah persinggahan sementara untuk mengumpulkan kebaikan sebagai bekal di akhirat.

“Maka barangsiapa yang merenungi akibat dari kehidupan dunia, niscaya ia akan hati-hati mengarunginya. Dan siapa yang meyakini panjangnya perjalanan (akhirat) maka ia akan mempersiapkan bekal perjalanan tersebut.” (Shaidul Khathir, hlm. 25)

Dunia hanya menjadi tempat manusia untuk merancang rumah di surga-Nya, sementara rumah sebenarnya seorang mukmin adalah Jannah. Jadi, sekaya atau sesukses apapun manusia, ia tetap akan Kembali ke akhirat. Ini adalah sebuah kepastian dari Allah SWT.

Merugilah orang-orang yang terbuai dengan fatamorgana dan menjadi dunia adalah segalanya. Sungguh sebuah musibah besar ketika seseorang tak mampu menghadapi ujian dunia dan mengabaikan kenikmatan hakiki demi kenikmatan sementara. Padahal, semakin kuat keimanan seseorang, maka semakin besar ujian yang akan diterimanya.

Dari Mush’ab bin ‘Umair, seorang tabi’in dari ayahnya, ia berkata,

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Para nabi, kemudian yang semisalnya lagi, seorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi No. 2398, Ibnu Majah No. 4024, ad-Darimi No. 2783, shahih).

Al-Hasan rahimahullah berkata,

“Janganlah kalian sibuk dengan urusan dunia, karena dunia itu sangatlah menyibukkan. Tidaklah seseorang membukakan satu pintu kesibukan untuk dirinya, melainkan akan terbuka baginya sepuluh pintu kesibukan lainnya.” (Hilyatul Auliya`, II/153)

Sumber: Muslimah.or.id